Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

forum lembaga mahasiswa prindustrian indonesia

Sabtu, 29 November 2008

Gerakan mahasiswa


GERAKAN mahasiswa adalah gerakan idealis. idealismenya sebagaimana yang sering kita dengar adalah sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of social control). Kedua fungsi ini pada hakekatnya belumlah memadai. Gerakan Mahasiswa dan Civil Society", haruslah berfungsi sebagai director of change (pengarah perubahan).
Kedua hal di atas harus dilakoni oleh gerakan mahasiswa. GM harus berperan aktif dalam kelangsungan nasib bangsa ini. Peran mahasiswa jika kita telusuri sangatlah banyak. Bisa dengan kajian intensif, diskusi kontemporer serta demonstrasi menentang pemerintah yang kebijakannya tidak populis. Setelah aksi yang dilakukan berhasil, misalkan penjatuhan rezim, maka setidaknya sudah ada gambaran format kenegaraan yang ideal untuk diimplementasikan. GM tidak bisa lagi memberikan blank check (cek kosong) pada pemerintah.
Salah satu mitos yang perlu dtinjau kembali adalah mitos mahasiswa yang diumpakan seperti film koboi Shane. Cerita ini diangkat oleh Arief Budiman, saudaranya Soe Hok Gie, penulis buku Catatan Seorang Demonstran, karena ada kemiripan secara fungsional.
Dalam cerita itu, Shane—yang diperankan Alan Ladd—berduel dengan kepala bandit yang diperankan oleh Jack Palance. Dalam pertarungan yang seru itu Shane menang. Setelah menghabisi sang bandit serta kroni-kroninya, kota menjadi tenang. Melihat aksi Shane yang hebat, masyarakat memintanya untuk menjadi pemimpin di kota yang malang itu. Namun, sang pahlawan tidak menggubrisnya. Ia memacu kudanya kian kencang. Pergi, karena menolak mendapatkan jabatan dan balas jasa dari masyarakat.
Cerita ini relevan jika kita kaitkan dengan aksi mahasiswa 1966. Ketika itu banyak aktifis mahasiswa yang dulunya orator ulung serta jagoan lapangan ditawari jabatan. Jelas ada yang mengambilnya! Tapi sayang, idealisme mantan mahasiswa itu ada juga yang kendor. Bahkan tercerabut oleh kekuasaan yang hegemonik. Seharusnya idealisme itu tetap dijaga, jangan pupus di tengah jalan!
Gerakan mahasiswa tidak selamanya harus mengikut pada konsep koboi di atas. Sebagai contoh, jika rezim tiran runtuh, maka menurut frame koboi Shane, mahasiswa harus kembali ke kampus. Nah bagaimana dengan implementasi agenda reformasi? Olehnya itu, gerakan mahasiswa harus menjaga dan mengarahkan arah reformasi.
Singkat kata, orientasi mahasiswa selain sebagai moral force, juga sebagai political force. GM tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan kekuatan moral. Harus juga dengan kekuatan politik. “Gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan politik!” Demikian kata Andi Rahmat, ketua umum KAMMI Pusat saat berkuasanya Gus Dur dalam wawancaranya dengan Majalah Islam Sabili.
Gerakan politik mahasiswa tentu beda dengan gerakan politik oportunis. Bagi mahasiswa, kekuasaan itu hanyalah sarana dan konsekuensi logis untuk perubahan ke depan. Tapi kaum oportunis, biasanya menggunakan banyak “topeng” untuk meraih kepentingan sesaat.
Masih ingat kasus Jacob Nuwawea, orang dekatnya Presiden Mega yang juga Menakertrans yang bagi-bagi duit ke beberapa mahasiswa untuk aksi anti-militer? Jika itu betul, maka sesungguhnya, itulah sikap oportunistik sesaat yang memalukan telah dilakukan segelintir “aktivis gadungan”, mengutip bahasanya teman-teman LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi).
Politik mahasiswa harus tetap independen, menjadi oposisi ekstra-parlementer. Tentunya oposisinya yang konstruktif. Selama ini memang ada image bahwa oposisi itu acuh tak acuh terhadap pemerintahan. Paradigma ini harus diubah, bahwa oposisi adalah keniscayaan di era demokrasi.
Segala kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan negara terkait dengan politik. Misalnya saja demonstrasi mahasiswa. Selain sebagai kekuatan moral, juga sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan. Karena dalam realitanya aksi mahasiswa bersama bersama elemen masyarakat bisa menurunkan Bung Karno, Soeharto hingga Gus Dur. Ini salah satu gerakan politik mahasiswa. Artinya bahwa aksi yang lakukan turut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan.
Dengan demikian, selain agent of change dan agent of social control, gerakan mahasiswa juga sebagai director of change. Mendapat beban itu, ada sebuah pertanyaan untuk aktivis mahasiswa. Mampukah gelaran moral yang berat itu dipikul?
Kalau jawabannya tidak, maka pertanyakan kembali jiwa juangmu. Kalau ya, maka tetaplah berjuang sampai titik darah penghabisan. “Patriotisme tidak akan lahir dari hipokrisi dan slogan, “ demikian kata Soe Hok Gie. Tetaplah di garis perjuangan. Hidup mahasiswa!

Rifadadlyzone.blogspot.com